- Home »
- Menjadi Pelita
Unknown
On Selasa, 12 November 2013

Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan
sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”
Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa
melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.”
Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak
berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan
buat orang buta dong!”
Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta.
Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat
ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!”
Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat,
pelitamu sudah padam!”
Si buta tertegun..
Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf,
sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”
Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas
kata-kata kasar saya.”
Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang
dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang
buta kita.
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun,
“Maaf, apakah pelita saya padam?”
Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang
sama.”
Senyap sejenak.
secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam
tawa.
Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita
mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam,
nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut.
Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta.
Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa
pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga
bisa ikut melihat jalan mereka.”
Friends... Pelita melambangkan terang kebijaksanaan.
Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama
halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral
rintangan (tabrakan!).
Si buta pertama tadi mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan,
kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar
bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam
perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa
yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan
dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang
kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun
mereka bisa melihat.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan
kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja.
Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta,
sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan
kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat
pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya
untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan
pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah kita sulut
pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang,
atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar
kita.
Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: “Sejuta pelita dapat
dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup.
Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi” http://www.emotivasi.com/category/cerita-motivasi/